Bincang


 Ada lelah yang tak dapat diutarakan,  menjamur menjadi benalu di dalam kehidupan, masih menjadi puing yang berserakan tak menyatu dengan sebuah impian. Harapan itu mencekik ku memaksa agar cepat diwujudkan, namun dengan realita saat ini kemungkinan tak mungkin terjadi, ia tak membiarkan ku bernafas bebas mencoba membunuh sebuah kepastian. Kebencian kepada hari yang sangat membuat ku ingin menyerah pada perjuangan.


Ada seekor lalat yang menyapaku dari tumpukan sampah yang menjijikan "  hidup itu mudah, bukanya kau sudah mempelajari konsep penderitaan? kenapa dengan hal sepele ini kau mengeluh? dasar pengecut. Kau tak melihat aku yang tiap hari bergelut dalam kebusukan sisa yang kalian makan, tanpa keluh aku menyantap dengan rasa terimakasih kepada hari-hari".


Aku disindir dan menusuk, jantung ku bergeliat merasa benar yang dikatakan lalat. Untuk apa aku belajar konsep penderitaan jika aku masih menderita? bukanya hal itu cukup untuk membuat aku bersyukur atas hari ini? Namun realitanya keadaan ini sangat menyulitkan, mereka yang sok paling perduli selalu mengatakan " aku demi kalian mempertaruhkan segala waktu agar kalian bisa menjalankan kegiatan ini dengan lancar, apa kalian tidak bisa meluangkan waktu sedikit demi kelangsungan kegiatan ini, setidaknya sampai selesai".


Dia tak pernah berfikir beban kami jauh lebih berat dari apa yang ia katakan, ia menganggur dan ada banyak waktu hanya untuk menjalankan tugasnya, tapi kami selalu berusaha untuk meluapkan waktu hanya demi dia. Dan itu sangat menyusahkan, dan tidak ada hal yang perlu aku banggakan ketika kegiatan itu berjalan sempurna, karena satu-satunya harapan ku agar acara yang ingin ia selenggarakan tidak pernah terjadi.


Ya aku sangat egois sangat egois, aku seperti ini karena dia semena-mena, andai ia perduli dengan kami yang selalu berusaha, tapi nyatanya tak sedikit pun dihargai, kamu di sini hanya menjadi budak yang sering dianggapnya sebagai benalu yang tidak memperdulikan anggota. 


Tidak ada rasa cinta diantara kami, hanya kebencian dan tudingan satu sama lain, di anggap seperti keluarga namun membunuh tanpa mematikan kami. Aku egois, Aku tak memikirkan kalian, satu-satunya yang aku pikirkan hanya diri ku sendiri yang mencari kemerdekaan di tengah belenggu harapan, siapa yang peduli bahkan jika aku pergi mungkin hanya ditahan dan diikat agar belenggu itu tetap merangkeng ku dengan penuh penderitaan.


Tidak berusaha melarikan diri hanya mengharapkan tidak ada penjajahan yang membatasi ruang gerak harapan, hingga dapat terwujud dengan mudah. Kalian yang sok idealis berusaha bijak dimata anggota padahal mulut mu jika dibandingkan dengan lalat itu jauh lebih busuk walau tak memakan sampah dari tong-tong bekas makanan para kaum durjana.


Hai para manusia yang berjuang atas kebenaran, ini aku yang terkurung dikerangkeng tak berkutik dengan bertemankan lalat yang memakan sampah. Aku diejek karena banyak mengeluh, hatiku kacau setelah mendengarnya. Ingin aku tidak mengeluh lagi hanya saja keadaan ku yang membuat ku terus mengucapkan kata-kata tak terpuji itu. 


Lalat berkata " kau manusia hina yang kerjanya hanya mengeluh, aku yang biasa makan sampah dan berkembang biak darinya masih menjadi musuh kalian,  padahal makanan yang aku santap adalah sisa makan yang tak habis kalian santap. Itupun kalian juga masih berusaha agar aku mati, jika aku menghitung teman ku yang mati tak selesai aku menghitung, aku pun mati, umurku pun tak jauh lebih lama dari proses busuknya makanan yang kalian buang, itu pun aku tak mengeluh"


Hidup ku memang tak jauh lebih berat dari hidup lalat namun aku merasakan hal yang tak ingin aku harap kan, dari daun yang berguguran aku berharap agar rantai ini terlepas agar aku dapat hidup bebas menggapai harapan.


Polgowok  28 Mei 2022

Ainun Najib

@darasfilsafatmuncar

0 Komentar