Dari Kerinduan
Ketikan kali ini aku ingin bercerita tentang aku yang sampai saat ini tidak tahu bagaimana hidup ini bisa berjalan, dari beberapa hal yang sudah aku lalui aku masih bingung untuk menemukan mau jadi apa aku nanti, apa yang aku mau, apa yang aku ingin kan, apa yang ku harapkan, apa yang ingin aku gapai, apa yang ingin aku nikmati, apa yang membuat aku menderita, apa yang membuat ku sedih, apa yang membuat ku marah, apa aku sebenarnya. Sering kali berusaha untuk mencari apa yang membuat ku benar-benar bahagia, dari segala hal yang sudah membuatku berpikir bahwa hidup ini tampak hampa, campak tak ada garam maupun gula, bahkan jika aku menangis tak akan mampu merubah hal ini jauh lebih baik, sampai akhirnya air mata ku terkuras habis.
Aku tau biji yang ditanam tak akan tumbuh cepat dengan hitungan jam, bahkan itu pun bisa gagal dan tak kan tumbuh. Sering kali aku memikirkan hal yang saat ini menyiksaku, ada orang yang membenciku dia berusaha agar aku tak tampak jauh lebih unggul dari dia, namun aku tak pernah merasa bersaing, karena apa yang aku lakukan ya itu keseharian yang pasti aku lakukan. Yang membuat ku tampak aneh saat aku di Cafe sekadar meminum coffee dia iri melihat ku, itu hal kecil yang menurut ku aneh jika dia sampai merasa iri.
Apa yang kalian lakukan ketika pagi, apakah kalian melanjutkan tidur yang panjang karena hari libur atau bangun olahraga dengan menyantap dingin akibat embun saat subuh? Entah bagaimana yang aku inginkan pasti tak kesampaian, saat aku ingin bagun ketika sudah terik malah karena menggigil aku tak dapat melanjutkan hibernasi, dengan kantuk aku pun memutuskan untuk menyeduh kopi yang kuminum dari pagi hingga menjelang siang.
Teman aku ingin bercerita masa aku masih berusia delapan tahun ketika aku menginjak bangku sekolah, jika kalian mengetahui aku seperti apa, mungkin kalian akan paham dengan karakterku saat itu. Setiap pagi dengan suara lantang Ibu membangunkan ku dari tidur, dari pagi yang masih belum tampak bola pijar aku sudah bergegas ke pasar dengan ibu untuk membelikan ku sarapan, ia begitu sangat perhatian dengan ku, walau tampak garang ia sosok yang selalu menjaga ku, dan pukulan kasihsayang selalu menjadi santapan ketika sore. Dikelas aku satu-satunya makhluk yang banyak diam dan tak membiarkan mulut ini berbicara kecuali dengan teman yang aku kenal. Jika kalian menganggapku seorang kutu buku tentu saja kalian salah, ya benar aku suka sekali dengan menulis di buku, namun tak lagi akan aku baca.
Aku selalu membayangkan hal yang indah, benar masa kecilku sangat indah, dari pagi dengan raungan alarm dari ibu, siang diharuskan berhibernasi, sore menghafal ayat suci, malam ditakuti oleh ayah yang memukul jendela untuk menakuti aku agar bisa tertidur. dan aku selalu menghabiskan waktu sendiri di gubuk ladang ayah ku. disaat libur tiba dengan berteman daun singkong yang aku gunakan untuk bermain wayang. Dengan dipanggul menyebrangi sungai aku pulang bersama ayah menuju rumah. Ya aku hanyalah anak seorang petani, namun pekerjaan ayah ku yang utama seorang nelayan, yang selalu
mempertaruhkan nyawanya demi anak nya yang selalu manja, walau aku sendiri lebih sering diam dan tak selalu menuntut apa yang aku mau, mereka paham, apa yang aku butuhkan.
Pada usia ku 11 Tahun ayah tiada meninggalkan ku dengan ibu yang akan menggantikan tugas ayah. Kami dituntut untuk lebih mandiri, aku dengan ibu bekerja apapun yang dapat menghasilkan uang, mencari keong di sawah, dari desa ke desa. karena di desa ku tak ada sawah, lalu mencari cacing untuk kita jual, siang sepulang sekolah aku mencari pakan kambing demi menyambung hidup. Lalu dilanjutkan dengan menjadi ojek sampan yang menyeberangkan penumpang untuk menyebrang ke tepi, disaat liburan tak ada jalan menuju ladang dan aku diharuskan untuk terus bekerja.
Perjalanan ini panjang dan usaha yang aku lakukan selalu menjadi sisi negatif bagi orang yang tak menyukai ku, entah apa yang aku lakukan salah maupun benar itu tak akan bisa membuat mereka bisa menyukai ku. Namun aku juga menyadari banyak yang harus aku lakukan untuk diriku sendiri. Bukan berusaha lebih baik, itu biar tetap menjadi penilaian untuk orang yang ada disekitarmu, jika Ayah dan Ibu masih ada, mungkin kehampaan ini tak akan berat, mereka menjadi selimut dikala aku kedinginan, dan obat di kala aku terluka.
0 Komentar